Minggu, 31 Maret 2013

Franz Wilhelm Junghuhn

Franz Wilhelm Junghuhn (lahir di Mansfeld (dekat Pegunungan Harz), 26 Oktober 1809 – meninggal di Lembang, 24 April 1864 pada umur 54 tahun) adalah seorang naturalis, doktor, botanikus, geolog dan pengarang berkebangsaan Jerman (lalu Belanda).

Junghuhn berjasa sebagai peneliti pulau Jawa dari sudut pandang ilmu bumi, geologi, vulkanologi dan botanik dan juga daerah Batak di Sumatera. Uraian menurut ilmu alam dia tuangkan pada karya utamanya, Pulau Jawa - Bentuknya, Permukaannya dan Susunan Dalam (3 jilid, 1852-54), yang dilengkapi oleh peta pertama dari pulau itu yang terperinci dan mengandalkan. Junghuhn juga menyusun sejumlah herbarium, singkatan ilmiahnya adalah Jungh. Dikenal pada upaya-upayanya untuk membina pemiliharaan pohon-pohon cinchona untuk menghasilkan obat kinine.




Sudah dalam usia remajanya Junghuhn memperlihatkan kegemaran pada alam, cita-citanya menjadi botanikus.1827 - 31 berkuliah di Universitas Halle, kemudian di Berlin. Baru satu tahun di Berlin Junghuhn dihadapkan dengan tuntutan duel oleh seorang mahasiswa Swiss bernama Schwoerer. Penuntut tidak mengalami cedera apapun, padahal Junghuhn terluka pada pahanya. Makanya Junghuhn dihukum 10 tahun tahanan dalam benteng. Lawannya, yaitu Schwoerer bunuh diri - menurut dugaan, untuk menghindari dari tahanan. Tahanannya dimulai bulan Januari tahun 1832 di benteng Ehrenbreitstein di atas kota Koblenz, pada bulan September 1833 Junghuhn melarikan diri ke Perancis dan masuk legiun asing. Ia ditempatkan di Aljazair dan 1834 diberhentikan lagi dari legiun. Ia pergi ke Paris, di mana ia diberi nasihat oleh Persoon, seorang botanikus dan mikolog, untuk menyelidiki flora tropis kepulauan India. Karena ia kurang mampu ia tidak punya pilihan lain daripada masuk dinas kesehatan pada tentara penjajahan Belanda.

Tahun-tahun pertama di Jawa dan Sumatera (1835 - 48)

1835 tiba di Batavia, ia bertugas dalam dinas kesehatan di Batavia dan Semarang. 1837/38 dua perjalanan dinas dengan Dr. E. A. Fritze, pada waktu itu selaku direktur dinas kesehatan di Hindia-Belanda, untuk menjelajahi seluruh pulau Jawa. Mereka mendaki hampir segala gunung api di sana. Pada pertengahan 1840 Junghuhn dipindah ke Padang, di mana ia ditugaskan oleh gubernur Pieter Merkus pergi ke daerah Batak dan menyelidikinya, karena pada waktu itu bagian Sumatera itu masih kurang terkenal. Hermann von Rosenberg, seorang penyelidik alam berkebangsaan Jerman disuruh mendampingi Junghuhn, meskipun von Rosenberg terpaksa mambatalkannya karena suatu peristiwa dalam kegiatan berburu, yang berakibatkan ia jatuh sakit. Makanya Junghuhn berangkat sendirian dan selama satu tahun setengah, selama ekspedisinya berlangsung hanya diiringi pendamping-pendamping pribumi saja. 

Ia hanya dapat menjelajahi bagian Selatan dari daerah Batak, sebabnya masyarakat Batak di bagian Utara menghalanginya dari masuk ke pedalaman. Perjalanan ke daerah Batak juga dipersulitkan oleh akibat perang Paderi, yang baru berakhir pada tahun 1838 dan meninggalkan pada suku Batak suatu trauma terhadap orang dari luar. Perjalanan kaki Junghuhn melalui hutan belantara dan pegunungan di daerah Batak pada waktu itu sangat melelahkan dan penuh jerih payah. Tenaga fisik dan psikis Junghuhn dan para pendampingnya ditantang secara sangat berat. Dari 17 bulan, yang ia berada di daerah itu, ia terpaksa menjaga tempat tidur selama sepuluh bulan untuk merawat kakinya yang terkena sakit parah.

Dalam segala tulisannya ia menunjukkan simpati besar kepada orang Batak. Ia menghargai tinggi keramahan mereka terhadap orang tamu, spontanitasnya, keramah-tamahannya dan juga keterbukaannya. Ia mengagumi bahasa baku mereka, tetapi tidak dapat memahami kenapa mereka menggemari kanibalisme. Agaknya kanibalisme mereka cuma sebuah legenda, yang disebarluaskan oleh masyarakat Batak sendiri untuk menghalangi orang-orang luar dari masuk ke daerah mereka. Juni 1842 Junghuhn kembali di Batavia. Pemerintah kolonial Belanda menugaskan dia dengan pengukuran topografis Jawa Barat, kemudian juga Jawa Timur. Mei 1845 ia diangkat resmi sebagai anggota Natuurkundige Commissie di Batavia. Dari gubernur jenderal Rochussen ia bertugaskan mencari tempat di pulau Jawa, di mana dapat ditambang batubara.

Kembali ke Eropa (1848 - 55)

1848 Junghuhn terpaksa pulang ke Eropa sebab kesehatannya kurang stabil. Ia pergi ke Leiden, di mana para botanikus yang sangat terkenal selama tahun 1851 - 1856 mengerjakan edisi Plantae Junghunianae, publikasi tumbuhan-tumbuhan yang ditemukan oleh Junghuhn di pulau Jawa dan Sumatera. Januari 1850 Junghuhn menikah di kota Leiden Johanna Louisa Frederica Koch. Pada bulan Agustus 1853 ia diberikan kewarganegaraan Belanda. Karena pekerjaan untuk menyelesaikan rumusan terakhir karya utamanya Java - seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart menemukan sejumlah kesulitan, publikasi itu baru diterbitkan pada tahun 1850 s/d 1854 di Amsterdam dalam versi Belanda dan pada tahun 1852 s/d 1854 di Leipzig dalam versi Jerman. Serentak 1854 peta yang merupakan sebagian dari karya itu dicetak, sedangkan peta besar pulau Jawa baru keluar setahun kemudian, 1855. 1854 Junghuhn mengarang sebuah karya dengan pandangannya tentang agama primordial (Naturreligion) berlawanan dengan tradisi agama kristen. Buku itu berjudul Licht- und Schattenbilder aus dem Innern von Java.



Persinggahan kedua di Jawa (1855 - 1864)

Pada bulan Juni Junghuhn ditugaskan sebagai inspektur penyelidikan alam di Pulau Jawa dan ia berangkat lagi ke Hindia Belanda. Junghuhn sekarang seorang naturalis bereputasi internasional, mendapatkan beberapa penghargaan dan jadi anggota sejumlah lembaga ilmiah. Tugas utamanya pemeliharaan tanaman cinchona untuk menghasilkan kinine. Pada bulan 1857 ia secara resmi ditugaskan dengan pengawasan perkebunan cinchona. Ia langsung merubah prosedur penanaman percobaan yang diterapkan J.K. Hasskarl, pendahulunya, dengan memindah perkebunan cinchona ke daerah pegunungan yang lebih tinggi dan menyuruh menanam semaian-semaian di dalam keteduhan hutan. Dari tahun 1858 sampai dengan tahun 1862 Johan Eliza de Vrij seorang farmakolog ternama menjadi penasihat proyek cinchona itu. De Vrij menyarankan memilih jenis cinchona lain yang lebih produktif. Tetapi pada waktu itu spesies cinchona ledgeriana belum tersedia, yang kelak memungkinkan peningkatan penghasilan kinine di pulau Jawa, sehingga pada akhir abad ke-19 kontribusi dari Nederlands Indie mencapai dua pertiga dari penghasilan kinine sedunia. Sayang sekali proyek perkebunan cinchona baru menjadi sukses beberapa tahun sesudah Junghuhn meninggal. Meskipun begitu jasanya, yang tak pernah akan memudar, adalah promosi tegas serta konsolidasinya proyek cinchona sehingga pengikut-pengikutnya dapat melanjutkannnya atas dasar prestasi Junghuhn. Sepatutnya ia dapat dianggap perintis perkebunan cinchona di Pulau Jawa.

Pada akhir tahun 1861 ia terkena infeksi amoeba dan sejak waktu itu tidak dapat sembuh lagi. Ia wafat pada tanggal 24 April 1864 dalam usia 54 tahun di rumahnya di Lembang. Makamnya terdapat di kaki Gunung Tangkuban Perahu di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Dalam sebuah taman, yang ditumbuhi Cinchona succirubra maupun C. ledgeriana.

Soe hok Gie

Seorang tokoh atau sosok, baik itu yang dikenal luas ataupun terbatas, bisa jadi merupakan sumber inspirasi dari banyak orang. Seperti inspirasi dari hasil karya, tindakan, sifat atau apa yang dia perjuangkan. Maka dari itu satubumikita mencoba untuk mengapresiasi para tokoh tersebut dengan mencoba sedikit menuliskan kisah hidupnya, yang mungkin sedikit banyak bisa menjadi inspirasi positif dan pelajaran untuk kita sebagai generasi muda.



Soe Hok Gie
Setelah sebelumnya satubumikita membahas F.W Junghuhn. Seperti judul yang tertera diatas, satubumikita mencoba membahas sosok Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa yang selain suka menulis juga seorang pendaki. Tanggal 17 Desember 1942 adalah  dimana Gie dilahirkan di kota Jakarta. Meninggal dunia sehari sebelum berumur 27 tahun tepatnya pada tanggal 16 Desember 1969 di puncak mahameru bersama rekannya  Idhan Dhanvantari Lubis (20 tahun) karena menghirup gas beracun. Gie pernah menulis dalam buku hariannya yang mengutip seorang filsuf Yunani, “nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda”. Memang begitu adanya sosok pemuda kita yang satu ini, Gie mungkin berbahagia mati muda daripada sial berumur sampai tua.  




Gie menempuh pendidikannya di Universitas Indonesia Fakultas sejarah (FSUI)  pada tahun 1962–1969. Gie sendiri sering digambarkan sebagai seorang pemuda yang berpendirian teguh dalam memegang prinsipnya dan juga rajin menulis perjalanan hidupnya dalam buku harian. Selain itu pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, juga kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folk song dengan badan kurus nyaris kerempeng. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983) yang cukup terkenal dikalangan para demonstran saat orde baru. Sosok perjalanan hidup Gie dalam catatan hariannya pun sempat di tuangkan kedalam karya film bioskop pada tahun 2005, dengan judul Gie, sutradaranya Riri Riza dan Nicholas saputra berperan sebagai Soe Hok Gie.


Gie sendiri adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Gie selain rajin mencatat buku harian juga dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).


Gie juga menulis skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, yang pada tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).

Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.

***

 “Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di Pulau Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di Pulau Jawa ini. (Soe Hok Gie)


Sejak dari Jakarta Gie yang disering diejek “cina kecil’ itu sudah merencanakan akan memperingati hari ulang tahunnya yang ke-27 di Puncak Gunung Semeru (Mahameru). Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember sebelum musibah terjadi, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Gie yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta teman-temanya menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, mereka bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berulang tahun di puncak gunung.
Di pagi hari yang naas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, mereka sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung.


Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki Gunung Bajangan. Gie sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.


Gie terus nyerocos kepada salah seorang teman seperjalannya yang sekaligus mahasiswanya, asal muasal nama recopodo (Arcopodo) alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci. 


 Memang pendakian ke Semeru itu merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI (Fakultas Sejarah Universotas Indonesia) 1969. Soe dengan keandalannya melobi kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek sejati.



Musibah yang menimpa Gie mungkin tidak terbayangkan serta betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang terlebih teman-teman seperjalannya. Terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing. Gie yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.


Sebelum musibah Semeru itu sempat berujar: “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

Soe Hok Gie, Saat berada di puncak Gunung Pangrango



***

John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie – A Biography of A Young Indonesia Intellectual (Australian National University, 1997), menjabarkan betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Soe Hok Gie. Harian Indonesia Raya yang masa itu sedang gencar-gencarnya mengupas kasus korupsi Pertamina-nya Ibnu Sutowo, memuat tulisan moratorium tentang Soe secara serial selama tiga hari.

Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan editorial khusus:
"…Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih … kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan kesalahan."


Di luar negeri, berita kematian Gie sempat diucapkan Duta Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society in New York, sebagai berikut: 
“… Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah seorang intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca kemerdekaan …. Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan … bagi saya ia memberikan suatu ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu...”

Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang juga kawan lengket Gie, dalam salah satu surat terakhirnya, Gie menulis,“… Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom!”

Dari cuplikan berbagai tulisan Gie, terasa sekali sikap dan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis begini: “Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama – buruh – dan pemuda, bangkit dan berkata – stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.”

Khusus soal mahasiswa, menjelang lulus sebagai sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-Mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan:
“… Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan … Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.”


Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara blak-blakan Soe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan mahasiswa itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata tidak tahu berbahasa Inggris.


Masih di seputar mahasiswa, dalam nada getir, Soe menulis: “… Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.”


Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR Gotong Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki “politisi berkartu mahasiswa”. Langkah Soe ini membuat mereka terperangah. Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas beracun di Puncak Mahameru.


John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran (November 1999), menulis begini, “Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas.”


Kita telah memperhatikan bagaimana Soe Hok Gie terpana politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan tahun. Namun hasratnya terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental “asal bapak senang”, serta “yes men”, atau sudah pasrah.




Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Gie akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun kembali institusi politik bangsa.” Demikian tulis Maxwell.

Gie memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Gie ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.

Semoga bermanfaat. Terima kasih.

Sumber : http://satubumikita.blogspot.com/2013/02/tokoh-soe-hok-gie.html